Kamis, 29 September 2011

7 Makanan Yang Membikin Cepat Tua

             Salah satu alasan mengapa makanan-makanan berikut ini dapat memberiksan proses penuaan lebih cepat dikarenakan kadar lemak dan gula yang sangat tinggi, yang tentu member dampak kurang baik terhadap tubuh.

Berikut ini beberapa makanan yang menurut para ahli gizi dapat memenyebabkan cepat tua:
1. Minuman Berkarbonasi
Minuman ini memiliki kadar gula tinggi dan memiliki nutrisi yang rendah. Kandungan gula yang tinggi dapat memicu obesitas, sehingga meningkatkan risiko hipertens, diabetes, sakit jantung dan stroke.

2. Sosis
Menurut para peneliti Eropa makanan ini dapat memicu risiko kanker kolorektal. Penyebabnya karena zat N-nitroso yang bersifat karsinogenik. Zat ini terbentuk ketika zat makanan terbentuk ketika bahan tambahan nitrin dicampur dengan daging olahan.

3. Kopi
Kopi memiliki zat kafein, efek samping yang terdapat pada kafein ternyata juga menyebabkan peningkatan hormone stress, dan pengaruhnya dapat berlangsung selama berjam-jamsetelah dikonsumsi. Padahal dalam kasusnya kontribusi terbesar penuaan dini adalah hormone stress yang disebut kartisol.

4. Keripik dan Kentang Goreng
Karena proses yang dilalui pada suhu yang sangat tinggi sehingga memicu pembentukan jenis lemak trans-fat. Kebiasaan mengkonsumsi makanan mengandung trans-fat dapat meningkatkan resiko penyakit jantung.

5. Pastri mengandung gula
Makanan ini mengandung banyak gula sehingga dapat memicu obesitas. Pastri juga seringkali dibuat dengan minyak yang terhidrogenasi sehingga mengandung trans-fat.
Minyak terhidrogenasi dibuat dengan cara menambahkan hidrogen pada minyak cair untuk menjadikannya lebih padat sehingga lebih mudah untuk disimpan. Namun begitu, proses kimia ini juga menghasilkan trans-fat. Contoh dari proses ini lemak yang dihidrogenasi adalah margarin atau mentega.

6. Daging merah
Daging merah memang mengandung protein yang penting bagi perbaikan jaringan. Namun terlalu banyak menyantap protein hewani juga dapat memicu hilangnya kadar kalsium dari tulang, sehingga mengundang risiko osteoporosis.

7. Nasi putih dan roti putih
Makanan ini mengandung sedikit serat sehingga masuk dalam kategori makanan dengan indeks glikemik tinggi. Makanan-makanan seperti ini dicerna dan diserap ke dalam peredaran darah dengan sangat cepat, sehingga membuat kadar gula melonjak dalam waktu singkat.

Hal ini pun akan membuat sel berubah dan menua lebih cepat sehingga meningkatkan risiko penyakit-penyakit kronis seperti diabetes tipe 2, kandung empedu, penyakit jantung, alzheimer dan beberapa jenis kanker.

Minggu, 13 Maret 2011

Menyikapi Nikmat Dan Musibah

Oleh: Muhammad Fatih

"Maka, nikmat Tuhan-Mu yang manakah yang engkau dustakan?"  (QS Ar-Rahmaan: 13)

Ayat itu diulang sebanyak 31 kali dalam Surah Ar-Rahmaan. Kerap membuat siapapun tertegun membacanya. Betapa kita, sebagai makhluk-Nya, terkadang terlalu sombong untuk sekadar mengucapkan 'terima kasih' kepada Sang Maha Pencipta, Allah SWT.

Sudah banyak sekali nikmat yang sudah Dia berikan. Namun, kita malah tidak bersyukur kepada-Nya. Bukankah Allah SWT telah berfirman:  ''Dan, Dia telah memberikanmu (keperluanmu) dan segala apa yang kamu mohonkan kepadanya. Dan, jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya. Sesungguhnya, manusia itu sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah).'' (QS Ibrahim [14]: 34). Sudah banyak sekali nikmat yang Dia berikan. Nikmat mencicipi manisnya iman, nikmat menghirup udara segar, dan sebagainya.

Allah telah memberi iming-iming yang menggiurkan untuk hamba-hamba-Nya yang bersyukur, dan ancaman untuk hamba-hamba-Nya yang kufur, seperti yang termaktub dalam Surah Ibrahim ayat 7: “''Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; Sesungguhnya, jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu. Dan, jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.''

Maka, syukurilah nikmat yang datang pada kita. Jangan kita terlena hingga kita lupa dan mengklaim itu adalah hasil jerih payah kita sendiri, tanpa menganggap Allah sebagai Maha Pemberi. Karena, sikap seperti itu dapat menjerumuskan kita kepada kekufuran terhadap nikmat Allah.

Bila hal yang diatas berhubungan dengan pemberian yang sesuai dengan keinginan kita, lalu bagaimana dengan pemberian yang tidak sesuai dengan keinginan kita? Terkadang kita, sebagai manusia, mengeluhkan atau tidak mensyukuri pemberian Allah SWT yang tidak sesuai harapan kita. Padahal, kita tidak tahu kalau itu sebenarnya baik untuk kita. Kita hanya terus menyalahkan keputusan-Nya. Tidak adillah, tidak baiklah, atau keluhan-keluhan lainnya terus meluncur dari lisan kita. Jarang kita melihat sisi positif dari pemberian itu. Padahal, Allah selalu memberikan yang terbaik untuk kita.

Oleh karena itu, ketika ditimpa suatu musibah, janganlah cepat-cepat mengeluh. Lihatlah sisi positifnya. Berpikirlah bahwa Allah sayang kepada kita, karena Allah ingin segera menghapus dosa kita lewat ujian itu.

Rasulullah SAW bersabda,”Tidaklah seorang muslim ditimpa musibah berupa rasa lelahnya badan, rasa lapar yang terus menerus atau sakit, rasa sedih/benci yang berkaitan dengan masa sekarang, rasa sedih/benci yang berkaitan dengan masa lalu, gangguan orang lain pada dirinya, sesuatu yang membuat hati menjadi sesak sampai-sampai duri yang menusuknya melainkan akan Allah hapuskan dengan sebab hal tersebut kesalahan-kesalahannya” (HR  Bukhori no 5641, Muslim no . 2573).

Begitu juga ketika keputusan Allah tidak sesuai harapan kita. Mungkin itu adalah untuk kebaikan jangka panjang kita. Ingatlah, Allah memberikan apa yang kita PERLUKAN, bukan yang kita HARAPKAN, karena bisa jadi apa yang kita harapkan justru mendatangkan mudharat bagi kita.

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, “...Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui." (QS Al-Baqarah: 216)

Perpisahan dengan orang-orang yang kita cintai, penyakit yang menggerogoti tubuh kita,  merupakan beberapa ujian yang perlu kita ambil sisi positifnya. Jangan kita terus mengeluh dan mengeluh. Karena, tak ada gunanya juga terus meratapi nasib. Sesekali, beranikan diri kita untuk mengambil sisi positif dari itu semua. Karena, di balik semua kejadian, pasti ada hikmahnya. Wallahu a’lam.

Rabu, 09 Maret 2011

Khasiat Buah Belimbing Manis Untuk Kesehatan

Buah bernama latin Averrhoa Carambola ini tentu tak asing lagi bagi kita. Berbentuk bulat panjang dengan rusuk tajam berjumlah lima dengan rasa manis menyegarkan, sungguh menggugah selera. Di kalangan internasional, buah ini dikenal dengan sebutan star fruit. Ini karena penampakah buah jika dipotong secara horisontal yang tampak seperti bintang.

Buah asal India atau Srilangka ini tak hanya dibudidayakan di wilayah Asia Tenggara, seperti Malaysia, Thailand, dan Filipina, namun juga dikenall di negara-negara beriklim sub tropis lain, seperti Amerika dan Australia. Ini karena buah belimbing manis mudah tumbuh dengan baik di tempat dengan ketinggian 0-500 m di atas permukaan laut dengan curah hujan tinggi dan mendapat cukup banyak matahari. Di Indonesia, belimbing manis banyak ditemukan di daerah Demak, Jawa Tengah.

Buah yang dapat berbunga sepanjang tahun serta dipanen tiga kali dalam setahun ini juga memiliki saudara, yaitu buah belimbing wuluh atau belimbing sayur (Averrhoa bilimbi). Rasanya lebih masak dan banyak digunakan untuk bumbu masakan, terutama untuk memberi rasa asam pada makanan.

Buah belimbing manis memiliki khasiat sebagai antipiretik dan ekspektoran, sehingga dapat dimanfaatkan untuk mengatasi batuk pada anak-anak. Buahnya yang mengandung banyak vitamin C memiliki manfaat sebagai antiinflasi, analgesik, dan diuretik, sehingga baik untuk penyembuhan batuk, sariawan, sakit tenggorokan, mengatasi demam, hingga mengatasi masalah kencing manis, dan kolesterol.  Kandungan vitamin C-nya yang tinggi juga baik untuk dikonsumsi penderita penyakit kanker. Akar belimbing manis juga berkhasiat untuk menyembuhkan sakit kepala dan nyeri persendian. Sedangkan daunnya dapat digunakan untuk mengatasi radang lambung, radang kulit bernanah, dan bisul.

Meski banyak memberi manfaat, bagi penderita penyakit ginjal harus berhati-hati dengan buah ini karena ia mengandung banyak asam oxalic yang berbahaya bagi mereka. Selain itu kegunaannya bukan saja enak dimakan dan di buatkan juice belimbing. Daripada itu buah belimbing punya khasiat juga yaitu mencegah tensi darah naik. Caranya adalah ambil satu buah belimbing yang hampir matang, bersihkan, parut dan parutan tersebut diperas hingga satu gelas airnya.

Cobalah resep ini selama satu bulan dan rasakan khasiatnya. Jika sudah melewati satu bulan dan sudah merasa bosan dengan air perasan belimbing, cobalah mengkonsumsinya dengan memakan dua hari sekali dan tidak usah diparut lagi niscaya tensi darah tidak bakal naik pasti akan tetap normal.

Untuk diperhatikan jika pakai resep ini, jangan sekali-kali mencampurkannya dengan garam, gula maupun gula sirup karena tak akan membawa faedah.

Semoga resep ini dapat mencegah tensi darah naik, selamat mencoba!

Urgensi Shalat Berjamaah

Oleh: Alex Nanang Agus Sifa *)

Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata. Kemudian apabila mereka (yang shalat bersamamu) sujud (telah menyempurnakan satu rakaat), maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum shalat, lalu shalatlah mereka denganmu.(QS An-Nisa: 102)

Ayat di atas merupakan dalil yang sangat jelas, bahwa shalat berjamaah hukumnya fardhu ‘ain bukan hanya sunnah atau fardhu kifayah, karena Allah SWT tidak menggugurkan kewajiban berjamaah bagi rombongan kedua dengan telah berjamaahnya rombongan pertama. Seandainya hukum shalat berjamaah sunah, tentu keadaan takut dari musuh (ketika perang) adalah udzur (keringanan) yang utama. Dan seandainya hukum shalat jamaah fardhu kifayah, tentu shalat jamaah telah gugur dengan berjamaahnya rombongan pertama (Ibnul Qoyyim, Kitab Sholat, hal. 138).

Lebih lanjut lagi Al-Allamah As-Sinqithi berkata “Ayat ini merupakan dalil yang sangat jelas tentang wajibnya shalat berjamaah.” (Adwaul Bayan 1/216).

Sebuah fakta yang ada di depan mata kita adalah bahwa banyaknya kaum muslimin sekarang yang meremehkan shalat terlebih shalat berjamaah di masjid.

Sebagai seorang muslim kita pasti mengerti tentang kedudukan shalat berjamaah yang begitu tinggi dalam Islam. Betapa sering Allah SWT dan Rasul-Nya menyebut kata shalat, memerintah untuk melaksanakannya secara tepat waktu dan berjamaah, bahkan bermalas-malasan dalam melaksanakan shalat merupakan salah satu tanda kemunafikan.

Dari Abu Hurairah, bahwasanya Rasulullah bersabda, “Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh aku berkeinginan untuk memerintahkan mengumpulkan kayu bakar lalu dibakar, kemudian aku memerintahkan agar adzan dikumandangkan. Lalu aku juga memerintah seseorang untuk mengimami manusia, lalu aku berangkat kepada kaum laki-laki (yang tidak shalat) dan membakar rumah-rumah mereka (HR Bukhari 644 dan Muslim 651).

Perawi hadis yang sangat masyhur Imam Bukhari memuat hadis ini ke dalam bab “Wajibnya Shalat Berjamaah”. Begitu juga yang diungkapkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar bahwa hadits ini secara jelas menunjukkan bahwa shalat berjamaah hukumnya fardhu ‘ain.

Sebab jika hukumnya sunnah, maka tidak mungkin Rasulullah mengancam orang yang meninggalkannya dengan ancaman rumahnya dibakar (Fathul Bari 2/125). Ibnu Daqiq Al-’Ied berkata bahwa para ulama yang berpendapat fardhu ‘ain berdalil dengan hadis ini, sebab jika hukumnya fardhu kifayah, tentu telah gugur dengan perbuatan Rasulullah dan para sahabat yang shalat berjamaah.

Hadits yang lain juga mengisahkan bahwa Abu Hurairah berkata, ada seorang buta datang kepada Rasulullah seraya berkata, Ya Rasulallah, tidak ada seorang yang menuntunku ke masjid, adakah keringanan bagiku? Jawab Nabi, “Ya.” Ketika orang itu berpaling, Rasulullah bertanya, “Apakah kamu mendengar adzan?” Jawab orang itu, “Ya”. Kata Nabi selanjutnya, “Kalau begitu penuhilah!” (HR Muslim: 653).

Lepas dari itu, shalat berjamaah banyak manfaatnya. Di antara hikmah disyariatkannya shalat berjamaah adalah, pertama, mengokohkan persaudaraan sesama Muslim.

Kedua, menampakkan syiar Islam dan izzah (kemuliaan/kejayaan) kaum muslimin. Karena syiar Islam yang paling utama adalah shalat. Seandainya kaum muslimin shalat di rumah/kamarnya masing-masing, mungkinkah syiar Islam akan tampak? Sungguh di balik keluar masuknya umat Islam ke masjid terdapat izzah (kemuliaan/kejayaan) yang sangat dibenci oleh musuh-musuh Islam.

Ketiga, kesempatan menimba ilmu. Betapa banyak orang mendapat hidayah, ilmu dan cahaya lewat perantara shalat berjama’ah.

Dan keempat, belajar disiplin. Inilah salah satu hikmah terpenting yang terkandung dalam shalat berjamaah. Seorang Muslim akan menjadi manusia unggul bila shalatnya bermutu tinggi dan dilakukan dengan berjama’ah. Seorang Muslim yang shalatnya berkualitas, niscaya akan mampu menangkap hikmah yang amat mengesankan dari shalatnya tersebut, yaitu hidup tertib, selalu rapi, bersih, dan disiplin. Inilah jalan menuju pribadi berkualitas yang akan menuai kemenangan di dunia dan akhirat.

Karena orang yang memiliki kesanggupan untuk mendisiplinkan diri dengan baik akan mampu menertibkan segala sesuatu di sekelilingnya, dengan cara menempatkan sesuatu pada tempatnya (wadh’u asy-syai fi mahallihi). Dia tidak perlu lagi kehilangan banyak waktu secara percuma karena lupa letak suatu barang yang diperlukan. Pembagian waktu yang adil akan bermanfaat bagi peningkatan kualitas diri, sedangkan kebiasaan hidup tertib dan disiplin akan menghemat waktu dari kemungkinan sia-sia.

Shalat berjamaah tidak hanya menjadi ukuran kadar keimanan seseorang, tapi juga menjadi ukuran seberapa besar seorang muslim mampu mendisiplinkan dirinya. Jarak waktu shalat fardhu yang telah Allah atur sedemikian rupa dan dibarengi perintah shalat berjama’ah adalah salah satu bentuk ukuran kadar keimanan seseorang kepada Allah SWT, dan tentu di baliknya tersimpan hikmah yang begitu besar.

*) Anggota Centre fo Islamic and Occidental Studies (CIOS) ISID Gontor Ponorogo.

-republika.co.id-

Sabtu, 08 Januari 2011

arjuna ...

Aku tak pernah berlari meninggalkanmu !
Melangkah menjauhi pun tak pernah terlintas
Aku masih disini…. Aku masih ada…
Namun sebait pun kini tak sempat lagi kubuat

Setiap hari kuhanya bisa berkata pada hati
Besok mungkin dapat kuluangkan waktu lagi
Tuk menulis tentang hati…
Dalam sebentuk puisi

Nyatanya aku tak pernah sempat
Ragaku s’lalu saja terlebih dahulu penat
Sehingga asa dan rasa tak pernah sempat
Dapatkan waktu yang tepat untuk puisi-puisi baru kubuat

Hingga sekali lagi di pagi ini
Kerinduan pada puisi kembali menjadi
Curahan hatiku dalam sebentuk puisi
Semoga esok aku bisa segera kembali

kamu dan aku..antara ruang dan waktu
yang terpisah rindu pun menjadi terlarang kamu dan aku..bagaikan
untaian nada nada melodi dan rindu pun semakin terlarang kamu dan aku
adalah satu..namun ruang dan waktu pun menjadikan kita dua

Mungkin aku memang lemah
Mungkin aku tak pernah punyai lelah
Saat ku terdiam menangisi pergimu
Terus ku terpaku oleh harapan semu

Sepertinya… t’lah cukup banyak kutulis
T’lah cukup dalam hati ini kuiris
Agar bisa kucoba lagi cinta dari mula
Dengan ia yang mampu merasakannya

Namun cinta untukmu terus bertahan
Di sekeping sisa hati ini pun cinta untukmu kurasakan
Kerinduan hadirmu tak pernah bisa hilang
Oh Tuhan… bagaimana semua ini harus kuartikan ?

Tiada keindahan dalam sebuah kehidupan tanpa meraih kepahitan dan tiada bunga" kebahagian dalam sebuah kepahitan..
Tiada perkataan pada sebuah kenikmatan jika tiada keikhlasan dan bersyukurlah yang bertapak di jiwa insan.
Tiada pelita di dunia ini yang dapat menerangi kehidupan di dunia dan akhirat kecuali pelita hati yang di sinari cahaya keimanan..

Kamis, 06 Januari 2011

Curahan Hati Seorang Mantan Mahasiswa UIN

Naluri saya lebih bangga untuk membaca karya keluaran New York daripada Kairo. Bahkan atheisme lebih ilmiah daripada wahyu

Hidayatullah.com–Apakah Anda pernah menyaksikan film Band Of Brother garapan Steven Spielberg? Di mana bangunan runtuh dan betonnya menumpuk di daratan. Ya begitulah perasaan saya saat kali pertama menginjakkan kaki di Institut Agama Islam Negeri (IAIN).

Bersama dengan seorang teman yang satu Madrasah Aliyah (MA), kami berjalan hati-hati sekali dan pelan melewati segundukkan puing bangunan yang berserakan di sana-sini. Di depan kami terhampar bebatuan yang lebih menyerupai kontrakan pasca dihancurkan. Saya mencari tahu ada apa sebenarnya dengan kampus yang terkenal karena beberapa alumnusnya ini? Jawaban baru saya ketahui ketika saya mengikuti awal-awal perkuliahan.

Saya bangga akhirnya diterima di sini, sedari awal cita-cita ini memang tertuju atas keinginan kuliah di kampus dengan aroma keilmuan yang kuat. Jika beberapa mahasiswa di kampus, lebih melihat pekuliahan sebagai syarat mendapat ijazah, membunuh waktu, bahkan ada yang tidak minat di jurusan hingga tidak gigih saat menuntut ilmu. Namun saya sudah menetapkan standar visi dan bagaimana nanti saya berkuliah jauh sebelum saya mengenal perguruan tinggi.

Mungkin karena keluarga kami tergolong mencintai buku, banyak buku yang mewarnai garis pemikiran saya saat masih di bangju Aliyah dan apa makna kesuksesan masa depan. Kala itu saya sudah terinspirasi mau menjadi orang seperti Hamka, Natsir, bahkan Sartre.

Awal-awal Kuliah di UIN

Dulu, ketika awalnya masih di Aliyah (setingkat SMU), perasaan saya kerap waspada jika akan masuk perguruan non pemerintah. Karena citra perguruan tinggi yang tidak sedikit miring dalam mendidik, baik dari moral dan kualitasnya. Oleh karena itu saya selektif sebelum menjatuhkan pilihan terhadap kampus yang akan kami tuju. “Jangan sampai, saya masuk sekolah tinggi yang tidak bisa mengakomodir kehausan mendalam saya terhadap ilmu,” bagitu hati saya berkata.

Bulan berganti bulan, akhirnya saya mampu menyesuaikan diri dengan gaya UIN yang lebih agamis. Mulai belalar ilmu Fiqh, Ilmu Kalam, Ulumul Qur’an, Ulummul Hadits, Sejarah Peradaban Islam, hingga sebuah mata kuliah “susah” bagi kawan-kawan yang bukan berlatar-belakang santri, Bahasa Arab. Namun kendati pelbagai ilmu-ilmu Islam menjejali, entahlah tak ada sedikitpun perasaan yang menciptakan hati mencintai Islam sepenuhnya. Saat itu saya pun heran bagaimana masa depan saya nantinya jika terus begini? Apa yang diharapkan dari sarjana yang tidak mencintai Islam sepenuhnya seperti ini?

Tahun berganti tahun, sayapun akhirnya menjelma menjadi mahasiswa UIN seperti para pendahulu saya. Sebuah pengalaman berkuliah yang senantiasa diisi oleh kegiatan membaca, diskusi, kelompok, organisasi, dan mengunjungi perpustakaan. Namun kesemuanya masih dalam bingkai takluk terhadap hegemoni Barat. Bendera Kanada-pun (baca: Barat) selalu berkibar di hati saya. Maklum di UIN ada perpustakaan McGill. Walau kala itu saya belum tertarik betul, masih mencari-cari.

Di UIN pula, saya berteman dengan mahasiswa-mahasiswa hebat seantero Indonesia, di mana, Subhanallah, bicaranya amat memukau, lengkap dengan cengkok khas intelektualisnya. Beberapa di antara mereka kemana-kemana selalu menenteng buku. Bacaanya filsafat Prancis dan sesekali mengutip Plato dan Aristoteles.

Ada pepatah, “bukan mahasiswa, kalau tidak punya organisasi.” Entah, apakah terprovokasi oleh adagium tersebut, akhirnya semua organisasi saya “jajahi” semata-mata mendapatkan air ilmu yang bisa melenyapkan dahaga saya terhadap wawasan. Saya pernah berada di organisasi yang kanan, beralih ke moderat, berdiskusi di lembaga sosialis kiri, masuk ke liberal, sampai aktif berbincang pada sebuah lembaga yang diisi mahasiswa senior jurusan Akidah Filsafat.

Ketika diskusi dengan orang-orang itu, saya tak ubahnya sedang melihat sebuah kontrakan terbakar, karena seluruh ruangan dipenuhi asap rokok hingga kita bisa tersedak. Rambut merekapun rata-rata gondrong melewati batas punggung. Bukan santri yang selama ini saya kenal.

Menurut bocoran dari kawan saya, jika kita masuk ke komunitas itu, anak-anak semester awal akan “diplonco” dengan cara kami harus mempresentasikan tema yang sebenarnya baru akan kami terima di tingkat lima. Benar, bersama seorang teman, saya benar-benar digojlok menjadi seorang pecinta buku sejati. Saya ingat betul kawan saya yang baru semester satu itu harus menjelaskan tentang biografi Nabi Muhammad SAW di depan mahasiswa semester 9 Filsafat (yang menurut saya) rada-rada ingkar Tuhan dalam penilaian saya. Bagaimana rasanya? Menegangkan. Serasa sidang thesis.

Belum usai, perjalanan saya berlanjut ketika saya semakin takjub diantar seorang senior untuk melihat foto-foto Azyumardi Azra selagi muda, melihat rambut ikal Profesor Komaruddin Hidayat saat bujang, sebelum berangkat ke Turki dan sebelum menjadi Rektor UIN tentunya.

Saban bulan puasa, kami kerap mengunjungi rumah “abang-abang” kami yang telah menjadi anggota DPR, salah satunya yang kini menjadi anggota Pansus Century. Di bawah tenda, kami berkumpul dengan para jawara intelektual kampus dari ujung Jakarta, walau tidak semuanya, karena bau penjilatan politik tercium kental. Namun kesan itu semakin tertanam dalam benak saya, bahwa beginilah dialektika organisatoris dan jalan panjang menuju medan politik.

Pada level pegerakan saya pun tidak melewatinya. Istilahnya, :Kurang canggih jika mahasiswa tidak berdemo,” begitulah istilahnya. Namun entahlah, saya merasa tidak cocok. Banyak mereka yang bicara kebenaran tapi di lapangan nyata apa yang dikatakan tidaklah sesuai kenyataan. Tidak sedikit banyak dari mereka malah jadi broker di kampus masing-masing.

Kenyataanya, jika demo mereka tidak shalat. Walau saya termasuk orang “brengsek” kala itu, tapi urusan shalat, alhamadulillah tetap tak akan tertinggal. Melihat fakta ini, saya tidak yakin jika masa depan diserahkan kepada mereka akan membawa dampak positif bagi bangsa.

Tapi ironisnya, mereka selalumeminta agar tampuk anggota DPR lebih baik diserahkan kepada mereka. Benar kata Soe Hok Gie, politik itu bak Lumpur. Saya menyaksikan dengan mata telanjang tentang arti kemunafikan, belajar melihat arti ucapan belum tentu mesti sama dengan kenyataan. Ketika “abang senior” mereka ditahan atas kasus korupsi mereka tidak lantang lagi bicara kebenaran. Akhirnya, alibipun ditebarkan.

Sementara dalam pendalaman Islam dan maknanya, saya dihadapkan pada tulisan-tulisan (alm) Cak Nur (Nurcholis Madjid, red) yang walau saya tidak paham, sering saya iyakan saja. Maklu, kala itu, saya masih lugu untuk mengintrepetasikan kalimat “Tiada tuhan selain Tuhan”. Ya sebuah filsafat cadas dari Chicago itu. Saya seperti seorang anak dan sekawanan senior yang sambil menepuk-nepuk pundak berpesan, “Nak, beginilah kalau kamu mau jadi orang cerdas.”

Westernisasi Pemikiran

Hingga waktu berganti waktu, secara tidak sadar ternyata ilmu yang saya pelajari selama ini menghantarkan saya untuk singgah pada fase intelektual yang benar-benar mengadopsi pemikiran luar. Tanpa disadari, saya lebih suka mengimitasi psikoanalisa tinimbang Imam al-Ghazali. Naluri saya lebih bangga untuk membaca karya keluaran New York daripada Kairo. Bahkan mencicipi tulisan atheisme sains menurut saya lebih ilmiah daripada buku dengan bumbu wahyu di tiap lembarnya. Saya melihat kesemuanya itu karena kultur, kalau kata Gabriel Tarde, psikolog sosial, hal-hal semacam ini laksana naluri ilmiah jika kita berada pada suatu massa, karena indvidu akan mengikuti arus masyarakat yang ada.

Selanjutnya saya semakin menjadi-jadi. Bukan hanya berhenti untuk mengadopsi ilmu-ilmu produk asing, tapi kesemuanya bermuara pada tingkat kekaguman dan keterpesonaan seorang pemuda tanggung seperti saya terhadap Barat (baca: bisa juga nilai duniawi). Saya malah menyesal kuliah di perguruan tinggi Islam. Bagi saya, kampus umum dengan segala perangkat keduniaannya menurut saya lebih membuka peluang untuk mendekati kebenaran di dibanding di kampus ini.

Shalat tanpa makna, berislam terkesan ala kadarnya, dan membaca buku Islam (jika hanya ada tugas adalah keseharian saya). Saya membaca buku-buku Islam, tapi sebenarnya kurang menikmati karena saya telah terlanjur cinta pada nama besar Freud, Jung, Erich Fromm, Descartes. Saya pun lebih menaruh kepercayaan pada positivisme, empirisme, rasionalisme, tinimbang The Philosphy of Islam. Jika Anda bertanya pada saya tentang Islam, jangan harap saya bisa menjelaskan siapa itu Nabi Muhammad dan bagaimana sejarahnya, sebab saya lebih tertantang melakukan diskusi buku-buku teori filsafat Barat, psikologi dan sosiologi yang lahir dari peradaban non Islami, dan mencoba mengedepankan kata “ilmiah” dahulu tinimbang Tuhan. Dan pada dasarnya, hal itu bukan untuk dikritisi dan kemudian diubah dengan semangat Islami seperti yang dilakukan Ismail Raji Al Faruqi. Namun saya mengkaji itu semua untuk saya praktekan kelak. Kalau mau berfikir ekstrim, sesungguhnya saya adalah “musuh” Islam saat itu.

Walau saya tidak sampai berikrar menjadi penganut atheis. (karena saat itu saya masih shalat, puasa, tidak pacaran, dan mencintai Allah) akan tetapi, saya tidak bisa menghindari bahwa dalam benak saya ada sebuah mosi ketidakpercayaan terhadap ilmu Islam itu sendiri.

Bahwa Fitrah itu Ada

Namun dibalik itu semua, tak bisa saya terelakkan bahwa ada perkara ganjil yang bersemayam dalam hati. Entah mengapa, kognisi saya selalu diganggu untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan elementer, seperti; Siapakah saya sebenarnya? untuk apakah saya hidup di dunia? kenapa saya selalu cemas? dan bagaimana nasib saya pasca dari dunia ini?

Seribu tanya itu persis seperti al-Ghazali mempertanyakan tentang hakikat diri di Kitab Kimiyatul Sa’adah-nya. Hebatnya itu semua berjalan beriringan dengan kekaguman saya terhadap produk Barat (yang sering dibanggakan di IAIN/UIN) itu. Hingga suatu ketika saya seperti ditampar oleh Allah, tepat ketika saya menerapkan keilmuan Barat saya dan mencoba merangkai kevalidannya.

Ternyata Barat yang saya kagumi selama ini tidak ubahnya motor yang kehabisan bensin saat mendaki tanjakan. Ia tidak bisa menyelami makna terdalam dari kehidupan. Bukan hanya tidak bisa, ia memang tidak akan bisa, karena tumpulnya ketajaman pisau analisa-nya untuk mengupas hakikat problem jiwa manusia modern.

Dan saat saya menjalani sebuah muhasabbah dan berprofesi sebagai konselor, saya malah dihadapkan bahwa kekuatan Islam mampu menjawab apa yang tidak dapat dipecahkan oleh ilmu modern tersebut.

Islam tidak seperti konsep yang saya bangun sebelumnya. Karena pada fase ini saya melihat Islam itu nyata. Bahwa Tuhan itu “ada”. Bagaimana mungkin para konseli saya berubah dengan Islamic approach (pendekatan Islam), bukan dengan pendekatan yang berbelit-belit ala psikologi Prancis, London, dan Jerman itu. Saya menemukan thesa yang berbeda dari apa yang saya yakini selama ini. Karena sejujurnya, walau saya berada pada kampus Islam, tapi mata kuliah yang kami dapatkan dari ilmu keislaman masih minim. Sekalipun ada tidak sama sekali membuat saya yakin terhadap ketangguhan ilmu Islam. Dalam lapangan, saya mendapati para konseli saya merasakan indahnya menyelesaikan problem hidup hanya dengan sentuhan nafas-nafas dzikir, shalat, dan tadabbur ayat-ayat Qur’an. Ya sekali lagi dengan pendekatan Islami, bukan pendekatan Rasionalisme, Materialisme, dan Humanisme.

Saya pun terperangah, dan mencoba merasakannya sendiri dan memang ketika membaca al-Qur’an, itulah moment paling tenteram yang pernah saya dapatkan. Inilah sebuah dampak psikologi yang nyata bagi diri saya. Ia masuk kedalam nurani saya tanpa diundang. Ia membius saya hingga rasanya ingin menangis, dan tak lama kemudian saya betul-betul terharu.

Di situlah fase pemutar balikan tiga ratus enam puluh derajat tentang arti Tuhan yang sebenarnya dalam saintifisme saya. Saya seperti mahasiswa strata satu yang berjalan seorang diri di Wina, Austria, dan tak lama terdampar di sebuah Mesjid yang didepannya tepat berdiri patung Sigmund Freud sedang memakai topi.

Saat itulah saya bertekad untuk mengkaji Islam dengan cara pandang yang berbeda. Saya ingin menjadi ilmuwan yang fair. Saat itu saya masih memegang separuh prinsip sains, bahwa ketika ada suatu teori yang mematahkan teori sebelumnya, maka, teori yang baru tersebut patut dikaji. Inilah dasar etika ilmu yang sejati, yang kadang sengaja ditutupi oleh beberapa kawan saya yang masih intens dengan keatheisannya. Saya berfikir positif saja, mungkin gemerlap materi yang membutakan mereka. Semoga bukan pertanda Allah menutup pintu hidayah.

Menjadi Konselor Muslim

Sejak itu haluan kapal saya berubah, saya ingin menjadi ilmuwan Muslim. Saya belajar Islam dari awal lagi, dari a’, ba’, ta’ lagi. Dari Al-Baqoroh lagi. Dari Bab Tharah lagi. Niat saya harus suci, tulus, dan ikhlas. Saya berkembang menjadi pribadi yang merasa tidak lebih pintar dari anak TPA sekalipun. Iri dengan para santri yang sangat nikmat sekali mempelajari dinul Islam di pesantren-pesantrennya. Gelora saya dibakar kekuatan tauhidi untuk mencari mutiara keislaman yang terpendam dalam jutaan buku karangan manusia.

Saya belum puas. Lantas tergerak untuk menghabiskan setengah waktu untuk membaca gemintang hadis yang menyala-nyala. Merasakan indahnya kekuatan Iman dari ilmu-ilmu Islam yang mempesona. Saya kumpulkan itu semua walau mesti tertatih-tatih dan layaknya tukang sapu tengah memungut beras tumpah yang butirnya bisa menggelending ke sudut-sudut trotoar. Setelah itu saya susun menjadi bangunan keilmuan Islam yang masih amat sederhana, bernama psikologi Islam dengan landasan prakteknya melalui pendekatan konseling Islam.

Jadilah dari pengembaraan itu saya demikian yakin untuk menyimpulkan bahwa keajaiban Islam tidaklah dapat dipandang sebelah mata. Bahwa kekuatan Islam bukanlah kekuatan sepele yang hanya dapat dikur dari kebahagiaan semu. Terlalu murah jika untuk hal itu. Karena saya sudah merasakannya, walau di UIN saya pernah menampuk kursi paling vital di jajaran organisasi kampus (baca: semacam MPR kampus) dan memiliki keilmuan yang cukuplah di atas rata-rata kawan saya, tapi saya tetap cemas, dan galau. Dalam kasus politik misalnya, intrik politik lebih banyak bermain ketimbang etika, padahal mereka-mereka juga orang hebat, lahir dari pesantren, mantan-mantan ketua BEM. Jika demonstrasi teriak pro kebenaran dan pro rakyat, penyambung lidah nurani, dan banyak memakan gizi dari ilmu Barat, tapi entahlah secara akhlak belum bisa saya simpulkan baik.

Dari seorang Ustadz bahwa semakin gigih kita mengejar dunia, semakin jatuhlah kita dalam kuburan fana yang sebetulnya menipu. Karena pada substansinya, dunia hanyalah senda gurau seperti tertera dalam firman Allah;
“Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui.” (QS Al-Ankabut ayat 64)

Sahabat Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ’anhu pernah berkata:”Bilamana manusia menemui ajalnya, maka saat itulah dia bangun dari tidurnya”. Sungguh tepat ungkapan beliau ini. Sebab kelak di akhirat nanti manusia akan menyadari betapa menipunya pengalaman hidupnya sewaktu di dunia. Baik sewaktu di dunia ia menikmati kesenangan maupun menjalani penderitaan. Kesenangan dunia sungguh menipu. Penderitaan duniapun menipu.

Sebagai seorang yang kadung belajar karakteristik manusia dan psikologi massa. Saya paham hal ini tidak bertahan lama jika saya tidak berada pada satu komunitas yang akan menunjang iman saya, ini penting. 

Mulailah saya membangun fondasi awal lagi tentang iman dan arti pergaulan. Jika dulu saya asal pilih teman, kini saya memberanikan diri bergaul dengan orang yang soleh dan mengikuti majelis-majelis ilmu yang mendekatkan saya kepada tali takwa. Karena menurut Baginda Nabi Muhammad SAW, arti teman amat penting bagi tiap mukmin. Jika kita bergaul dengan tukang minyak wangi, maka harumlah kita. Lalu untuk penanaman ilmu pun tidak kalah penting, karena menurut Al Ghazali ilmu adalah pilar menuju jiwa yang sehat.

Saya merasa tenteram menerapkan filosofi sederhana tapi vital itu. Dan kunci untuk menemukan itu ialah bagaimana kita bisa mengenali diri kita sendiri. Siapa kita, apa tujuan kita, kenapa kita cemas, kenapa kita selalu gelisah, kenapa kita marah, kenapa kita selalu kesal, kenapa masalah sepele jadi besar. Dan anda mau tahu jawabannya? Tidak lain jawaban sebenarnya ada pada diri kita sendiri. Ini bukan humanisme yang menuhankan manusia, tapi pengenalan diri dalam Islam yang jauh lebih manusiawi dan mengandung nutrisi fitrah dari segenap ilmu yang pernah ada. Karenanya, Syeikh Abdul Hamid Al Ghazali menaruh bab Pengenalan Diri pada bab awal kitab kimia kebahagaiaannya, inilah kunci awal menuju kebahagiaan.

Jika kita sudah menemukan siapa diri kita, evaluasilah pengalaman kita selama ini apapun itu, yang saya haqqul yakin bahwa muara itu terletak pada sebuah kata tegak, Allah. Baik dari problem sengsaranya kita dalam cinta, gelisahnya kita akan asesoris dunia, hingga perkara ambisi menang kalah dalam kuasa.

Rasa cemas itu terjadi karena kita sudah jauh dari Allah. Kita biarkan Allah hanya berada pada singgasana, dan kita sendiri di dunia dengan sombongnya merasa sanggup berjalan sendirian.

Tanpa kita sadari. Kita pun sudah menduakan Dia Yang Maha Esa. Dualisme tauhid kita terbentur pada pengakuan disatu sisi kita mengakui Allah yang Maha kita cintai, tapi disisi lain kita lebih ingin mendahulukan apa keinginan kita, apa kata pacar, apa kata nafsu, apa kata amarah kita, apa kata ego kita, dan segala rasa individualitas angkuh yang bersamayam dalam diri kita.

Ingat, mata batin tidak bisa dibohongi, ikhwah. Karena kita telah diberi fitrah suci dari lahir oleh Allah untuk membedakan mana yang salah dan mana yang benar. Semakin kita menjauh dari Allah semakin mengeraslah qolbu kita. Semakin kita mendahulukan nafsu, yakinlah hanya kesengsaraan yang kita dapat di dunia fana ini. 

Karena Allah sudah mengingatkan kita,
“Maka celakalah bagi mereka yang keras qalbunya dari berdzikir kepada Allah. Mereka berada dalam kesesatan yang nyata.” (Az-Zumar: 22)

Syeikh Ibnu Qayyim Al Jauzi pernah berkata bahwa tidaklah Allah memberikan hukuman yang lebih besar kepada seorang hamba selain dari kerasnya qalbu dan jauhnya dari Allah subhanahu wa ta’ala. Qalbu yang paling jauh dari Allah adalah qalbu yang keras, dan jika qalbu sudah keras mata pun terasa gersang. Qalbu yang keras ditimbulkan oleh empat hal yang dilakukan melebihi kebutuhan: makan, tidur, bicara, dan pergaulan. Bahkan dalam Tazkiyatun Nufus-nya, beliau berujar bahwa dosa adalah canru, semakin kita sering berbuat dosa, semakin ketagihanlah kita untuk bermaksiat kepada Allah. Sebuah rumus sederhana, bukan? 

Namun ketika ketaatan kepada Allah menjadi kebiasaan dalam hidup kita sehari-hari, maka ketenangan batin dan mansinya iman akan menjadi kawan sejati kita sehari-hari. Percayalah, dan itu butuh kejelian kita, selamat berjuang para pencari kebahagiaan yang sejati.

“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah- megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (QS. Al Hadiid(57) ayat.20).

Muhammad Pizaro Novelan Tauhidi, penulis adalah alumnus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Semasa kuliah aktif pada kajian-kajian Keislaman dan Filsafat di Ciputat, di antaranya HMI, Forum Kota UIN, dan Fakultas Dakwah dan Komunikasi. Mantan Wakil Ketua Kongres (MPR) UIN Jakarta dan Ketua BEM Bimbingan dan Konseling Islam. Kini, aktif pada diskusi sabtuan INSISTS, Kajian Zionisme Internasional, dan Kuliah Peradaban Islam DISC U

-hidayatullah.com-